Jepang tengah menghadapi lonjakan harga beras yang signifikan, memicu kekhawatiran ekonomi sekaligus gejolak politik dalam negeri. Berdasarkan data resmi pemerintah, harga beras pada Juli 2025 tercatat meningkat 90,7 persen secara tahunan (year-on-year). Kenaikan ini menandai salah satu lonjakan terbesar dalam beberapa dekade terakhir, meskipun laju inflasi beras sedikit melambat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Kondisi tersebut menjadi tantangan besar bagi Perdana Menteri Shigeru Ishiba, yang kini berada dalam posisi sulit setelah koalisinya kehilangan mayoritas di kedua majelis parlemen pada pemilu terbaru. Banyak pemilih yang kecewa terhadap naiknya harga kebutuhan pokok, terutama beras, sehingga dukungan terhadap Partai Demokrat Liberal (LDP) yang telah lama dominan kian melemah.
Faktor Pemicu Kenaikan Harga Beras
Lonjakan harga beras tidak terjadi tanpa sebab. Beberapa faktor utama antara lain:
- Musim panas ekstrem tahun 2023 yang mengganggu pasokan pangan dan produksi beras domestik.
- Panic buying pascagempa besar tahun lalu, yang mendorong masyarakat membeli beras dalam jumlah besar sebagai cadangan.
- Gangguan distribusi akibat cuaca ekstrem dan keterbatasan logistik di beberapa wilayah Jepang.
Akibat kombinasi faktor tersebut, harga beras melonjak drastis sejak awal 2024 hingga kini. Bahkan pada Mei lalu, harga beras sempat tercatat naik hingga 101,7 persen, sementara pada Juni turun tipis menjadi 100,2 persen lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Secara keseluruhan, inflasi inti Jepang pada Juli turun menjadi 3,1 persen dari posisi 3,3 persen di Juni. Namun, angka tersebut tetap berada di atas target inflasi Bank of Japan (BoJ) sebesar 2 persen.
Situasi ini memunculkan spekulasi bahwa bank sentral akan kembali menaikkan suku bunga dalam waktu dekat. Terakhir kali, BoJ menaikkan suku bunga pada Januari 2025. Namun, hingga kini otoritas moneter masih menahan diri untuk melakukan pengetatan lebih lanjut dengan alasan bahwa inflasi tinggi sebagian besar disebabkan oleh faktor sementara, termasuk kenaikan tajam harga beras.
Menghadapi tekanan harga pangan, pemerintah Jepang mengambil beberapa langkah strategis. PM Ishiba telah menunjuk Menteri Pertanian baru yang diberi mandat untuk menstabilkan pasokan dan harga beras. Selain itu, pemerintah juga mulai merilis stok darurat beras ke pasar guna meredam lonjakan harga.
Tidak berhenti di situ, pemerintah Jepang melakukan perubahan kebijakan pertanian yang telah berlangsung puluhan tahun. Jika sebelumnya petani lebih banyak difokuskan untuk menanam beras, kini pemerintah mendorong diversifikasi dengan menanam komoditas lain. Langkah ini diharapkan dapat menjaga ketahanan pangan sekaligus mengurangi ketergantungan pasar domestik pada satu komoditas utama.
Selain faktor domestik, Jepang juga menghadapi tekanan dari Amerika Serikat. Washington secara terbuka menyarankan agar Jepang membuka lebih banyak peluang impor untuk beras Amerika. Jika kebijakan ini diterapkan, maka pasar Jepang yang selama ini protektif terhadap produk pertanian dalam negeri bisa mengalami perubahan signifikan.
Namun, langkah tersebut bukan tanpa risiko politik. Banyak petani Jepang khawatir jika impor beras dibuka lebih luas, maka harga gabah lokal akan semakin tertekan, sementara pemerintah menghadapi dilema antara menjaga harga terjangkau bagi konsumen atau melindungi kepentingan petani domestik.
Naiknya harga beras bukan sekadar isu pangan, melainkan telah menjelma menjadi masalah politik yang serius. Popularitas PM Ishiba terus menurun seiring tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat. Jika harga beras tidak segera stabil, bukan tidak mungkin masa depan politiknya semakin goyah.
Di sisi lain, inflasi yang masih berada di atas target menempatkan Bank of Japan dalam posisi sulit. Keputusan terkait suku bunga akan menjadi sorotan, mengingat kebijakan moneter yang lebih ketat berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi yang mulai pulih.
Bagi masyarakat Jepang, beras bukan sekadar bahan pangan utama, tetapi juga memiliki nilai budaya yang mendalam. Karena itu, lonjakan harga yang nyaris 91 persen tidak hanya mengganggu daya beli, tetapi juga menimbulkan keresahan sosial yang lebih luas.